Kamis, 10 Juli 2014

Untukmu Mama

Untuk mamaku tercinta, selamat ulang tahun selamat bertambah umur. Anakmu yang kau lahirkan dengan bertaruh nyawa ini memang belum bisa memberikanmu apa-apa. Putrimu yang masih malas-malasan membantumu memasak ini masih belum bisa menjadi setangguh dirimu. Namun, buah hatimu ini selalu berdoa untuk kesehatanmu agar saat aku menjadi wanita yang kuat, engkaulah yang pertama memberi senyuman.

Mama, maafkan aku. Aku hanya bisa menggerutu. Sedang engkau selalu tersenyum memberiku yang terbaik. Sekarang, aku telah tumbuh lebih dewasa, aku ingin mengungkap rasa sayang yang luar biasa padamu. Rasa rindu yang amat besar,

Minggu, 06 Juli 2014

Pulang ke Rumah

Dahulu aku tak pernah merindu, bahkan aku selalu ingin pergi. Ya, pergi dari rumah, sejauh mungkin kalau bisa. Rumah hanya membuatku semakin penat. Tak pernah sekali pun aku peduli. Jika ada pilihan untuk tidak pulang, ku memilih tak pulang.

Kini semua berubah, 180 derajat. Aku rindu rumah. Aku ingin pulang. Ternyata, hanya itu tempatku pulang. Tempat dimana seluruh penatku bisa hilang. Selama ini aku salah menilai rumah. Kemanapun aku pergi jauh dan selama apapun itu, aku pasti kembali ke tempat sederhana itu.

Aku senang mencari-cari alasan untuk pulang. Sekedar ingin menyapa mentari pagi di kampung halaman. Berbincang dengan burung gereja pagi hari bahkan bertanya pada bunga-bunga di taman. Selalu ada alasan untuk pulang. Selalu ada cerita saat di rumah.

Kerinduanku akan rumah mulai terasa saat ku jauh darinya. Mungkin benar kita harus kehilangan terlebih dahulu agar kita tahu betapa berharganya sesuatu itu. Aku tidak mau menyesal kelak. Aku akan manfaatkan waktuku, menyayangi apa yang ku punya sekarang.

Sabtu, 05 Juli 2014

Cerpen: Sebuah Alasan

"Tik... Tok... Tik... Tok... " jam dinding berbunyi dalam kesunyian malam itu. Aku berdiri di depan meja belajar memandangi sebuah buku yang tegeletak tak berdaya. Buku itu bertuliskan "Hamzah". Nama yang dulu kusebut-sebut, kupuja-puja dan kubanggakan. Nama seorang laki-laki yang sempat, maaf masih aku sayangi. Mataku mulai berkaca-kaca, bibirku mulai gemetar dan dadaku mulai sesak. Aku pun meneteskan air mata dengan mendekap buku dan semua kenangan itu.

Pertemuanku dengan dia, Hamzah, sekitar 5 tahun lalu. Disaat kita berseragam putih abu-abu. Dia murid teladan yang menjadi pujaan setiap gadis, tak terkecuali aku. Dia sangat menyukai pelajaran kimia. Menurut dia, kimia itu penuh akan misteri. Kita tidak dapat menerka apa yang terjadi jika kita mereaksikan senyawa A dan B. "Kimia itu penuh kejutan" kata-kata dia yang selalu kuingat.

Hari itu, aku pergi ke perpustakaan dan membaca buku kimia yang ada disana. Benar, aku pun menyukai kimia. Disaat ku mengangkat kepala, entah apa yang getaran dalam tubuhku. Hamzah dengan tenang dan tampak serius duduk dihadapanku. Dia pun mengangkat kepala dan berkata "Hai!". Seketika bibirku tertarik membuat senyuman paling indah dan menjawab, "Halo...". Semenjak hari itu, setiap hari kami bertemu dan semakin hari semakin dekat.

Mengenalnya, mengaguminya dan merindukannya. Perasaan yang membuat tawaku teroksidasi dan sedihku tereduksi. Bagaikan reaksi kimia yang selalu mencari kesetimbangan. Aku dan dia saling melengkapi. Tidak terbesit dalam anganku, apa yang akan terjadi saat reaksi itu sudah setimbang? Apa yang dilakukan senyawa-senyawa yang sudah stabil?

Aku, mengidap penyakit jantung bawaan. Saat aku kecil, dolter pernah berkata, "Mungkin dia tidak bisa bertahan lebih dari 20 tahun." Berulang kali aku menjalani operasi, berulang kali pula aku dirawat dirumah sakit. Namun, akhir-akhir ini aku merasa jantungku berdetak lebih lemah. Mungkin ini suatu pertanda dan memang usiaku hampir 20 tahun. Inilah alasan aku membuat buku ini. Buku kenangan tentang kita. Ini alasanku menangis malam ini. Seperti apa yang Hamzah katakan, "Kimia itu penuh kejutan." Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok hari.

Mengapa

Ketika dua anak adam bertemu dalam diam
Keempat mata saling menyapa
Seakan bertanya mengapa
Mengapa bisa saling mencinta

Ingin menemukan sebuah alasan
Alasan sang jantung berdetak cepat
Bibir yang tak henti tersenyum
Dan tubuh yang terasa amat ringan

Ingin berlari lebih kencang
Melompat lebih tinggi
Melakukan lebih, lebih dan lebih
Hanya demi menjadi kebanggaan

Jika ini sudah tertulis
Jangan kau biarkan ku menangis
Jika ini belum terukir
Biarkan aku menjadi yang terakhir


Sabtu, 28 Juni 2014

Dua Puluh Tahun

Kemarin, 28 Juni, tepat 20 tahun yang lalu aku mulai bernafas dan memiliki detak jantung. Hanya ingin mengucapkan syukur pada Penciptaku yang Maha Besar dan menyampaikan lebih dari sejuta kata 'terima kasih' kepada ibuku tercinta. Dia yang telah berjuang untuk memberikanku kehidupan ini. Juga ingin kuteriakkan 'aku bahagia' pada semua orang yang telah memberikan kasih sayang dan pengorbanannya padaku.

Namun, ada sedikit renungan hari itu. Apa yang sudah aku berikan pada Tuhanku, orang tuaku, dan orang-orang yg menyayangiku? Aku hanya bisa meminta, menyusahkan dan menggerutu. Ada harapan, ada kesempatan untuk berubah. Menjadi lebih baik, menjadi lebih bermanfaat. Aku tak ingin lagi menjadi benalu yang tak tau malu.

Sepintas hari kemarin sama seperti hari hari biasa. Tapi, dihatiku tumbuh bunga-bunga yang membuatku selalu tersenyum. Hidupku seperti bunga-bunga itu, belum mekar, jadi aku akan membuatnya mekar dan tiada sesal kelak.

Ayah, ibu, tunggu! Suatu saat akan tiba dimana aku akan membuatmu tersenyum sangat bangga. Terima kasih telah berusaha sekuat tenaga, memberiku nasi dan buku yang tak ternilai.

Jumat, 27 Juni 2014

Rela atau ikhlas?

"Rel, rel apa yang sakit? Relakan kamu pergi" candaan temanku yang membuatku berfikir, sebuah makna dari kata 'rela'. Kata yang penuh akan pengorbanan. Walaupun terlihat sederhana, kata ini memiliki emosi yang amat dalam.

Merelakan sesuatu yang kita punya, yang kita banggakan, yang kita idamkan. Mungkin bagi sebagian besar orang ini adalah hal yang cukup berat. Tapi ku lihat mereka bahkan aku, akan berusaha tidak menunjukkan kegelisahan. Mengatakan aku rela, aku ikhlas dengan senyuman.

Aku belajar senja ini, kalau memang kita ikhlas harusnya tak perlu berucap karena tidak ada kata ikhlas dalam surat al-ikhlas, surat ke-112 dalam kitab suci agamaku, agama islam. Ya, rela dan ikhlas tidak jauh berbeda dan bisa dikatakan sebuah sinonim.

Seorang sahabatku menyangkal, rela belum tentu dia ikhlas. Rela hanya sebuah keberanian untuk melepas. Sedangkan ikhlas adalah menerima dan meyakini dengan hati segala sesuatu yang kita lakukan atau lepaskan adalah kehendakNya.

Selasa, 27 Mei 2014

Kesempatan

Ibuku pernah berkata "Kesempatan tak datang dua kali". Sebagai seorang anak, tentunya aku percaya kesempatan tak akan datang untuk kedua kali. Dan aku mulai membuat sebuah perjanjian antara diriku dan seluruh anggota tubuhku bahwa aku tidak akan menyianyiakan apa yang aku punya dan aku jalani.

Senja itu, aku menangis hebat. Aku menyesal. Tak tau kenapa aku merasa kalau saja aku bisa kembali memutar waktu. Ingin aku mengulang kembali kesempatanku. Kesempatan mewujudkan mimpi Ayahku yang juga menjadi mimpiku. Maafkan aku Ayah. Aku belum bisa menjadi kebanggaan.

Tangisku memang sangat hebat. Tapi semangatku untuk bangkit kembali lebih hebat. Mungkin bukan kesempatan ini yang bisa membanggakan ayah, mungkin kesempatan lain yang direncanakan Tuhan. Pasti lebih indah. Aku percaya.

Minggu, 25 Mei 2014

Nasi dan Bubur

Minggu pagi, disaat ku pergi dengan sahabat ke sebuah tempat makan bubur langganan. Semangkok bubur dengan ayam suwir, kacang dan kerupuk. Aku sangat suka makan bubur pagi hari. Mengawali hari dengan sebuah renungan berharga.

Banyak yang setuju bahwa hidup adalah pilihan. Keraguan dan keyakinan mewarnai setiap penentuan. Pernahkah merasa bahwa sesuatu yang telah terpilih adalah sebuah kesalahan? Kesalahan dalam mempertimbangkan keraguan dan keyakinan. Aku sudah berulang kali merasa bahwa aku meragukan hal yang salah dan meyakini hal yang bukan seharusnya.

Ketika rasa bersalah datang, aku hanya mencoba diam dalam goncangan dan terpejam dalam kegelisahan. Aku tau keputusan sudah diambil dan mesin waktu hanyalah sebuah fantasi. Ibarat membuat bubur menjadi nasi kembali. Sungguh tidak masuk akal. "Untuk apa membuat bubur menjadi nasi" seketika aku berfikir. Lebih baik menyiapkan ayam suwir, kacang dan kerupuk. Lebih baik membuat keputusan yang kita ambil menjadi bermakna.

Aku memelih untuk tetap berjalan mengoyak fikirku tentang kesalahan atau kebenaran yang telah kuambil. Tidak hanya berjalan, aku ingin berlari kencang. Selalu ada arti disetiap jalan yang kita tempuh. Tiada yang sia-sia.

Kamis, 17 April 2014

Chemistry

Kamu bagaikan helium yang bisa membuatku terbang bagaikan balon udara. Kamu itu seperti hidrogen, mengikat setiap padangku dengan kuatnya. Kamu selalu bisa mengoksidasi senyumku dan mereduksi tangisku. Sebenarnya reaksi apa yang tengah kurasakan ketika aku bersamamu?

Kau adalah intan dan aku hanya bongkahan arang. Kita berdua terbentuk dari unsur yang sama namun berada di tempat yang berbeda. Terlintas jarak yang membentang cukup jauh. Kau disana dan aku disini. Kau begini dan aku pun begitu. Entahlah! Aku hanya merasa tak pantas memiliki getaran ini. Akankah kita menemui sebuah titik ekuivalen? Atau kita hanya sebagai anomali?

Walaupun aku belum menyentuhmu, tapi di malam yang sunyi gelap dan dingin ini, aku ingin mengatakan terima kasih, maafkan aku, dan aku merindukan dirimu...

Sabtu, 08 Maret 2014

Tidak Bisa Kita Pilih



Disuatu senja, saya mulai berfikir. Apa yang telah saya lakukan atau yang akan saya lakukan. Saya pernah merasa saya adalah orang paling menderita di dunia, saya juga merasa saya adalah orang paling bahagia di dunia. Terkadang saya setuju bahwa hidup ini pilihan, namun beberapa hal dalam hidup tidak dapat saya pilih. Saya tidak bisa memilih dimana saya dilahirkan, oleh siapa saya dilahirkan dan kapan saya mati nanti.

Sering kali saya melihat kehidupan orang lain. Sepertinya mereka sangat bahagia. Mereka memiliki banyak hal yang tidak saya miliki. Mereka dapat melakukan kegiatan yang tidak dapat saya lakukan. “Saya ingin seperti mereka.” seketika saya berfikir demikian. Lalu, jika saya berfikir seperti itu, apakah mungkin mereka tidak berfikir hal serupa? Pada dasarnya manusia itu sama, melihat rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput dirumahnya. 

Saya yang menginginkan kehidupan orang lain seakan menjadi bukti bahwa manusia tidaklah sempurna. Kita membutuhkan orang lain untuk saling melengkapi kehidupan. Banyak orang berkata “Jangan berteman dengannya, dia jelek, dia egois, dia miskin, dia…., dia….”. Apa alasan kita menjauhinya? Bukannya kita juga seperti mereka, tidak sempurna. Mencoba memahami dan mengingat bahwa ada hal  yang tidak bisa kita pilih.

Mengapa kita tidak bisa memilih hal-hal tersebut? Karena kita hanyalah makhluk ciptaan Tuhan. Pencipta alam semesta yang begitu sempurna. Manusia bagaikan butiran debu dihadapannya. Segala sesuatu yang tidak bisa kita pilih adalah kehendak-Nya. Lantas mengapa kita masih saja mempermasalahkan apa yang telah menjadi kehendak-Nya? Apa mungkin kita yang kecil ini melawan-Nya. Bersyukur, ikhlas dan sabar. Semua akan indah pada waktunya.